Tan Malaka adalah salah satu tokoh revolusioner Indonesia yang dilahirkan di tanah Minang pada tanggal 18 Juni 1897. Beliau memiliki gelar ―Datuk‖ yang ia dapat di tanah kelahirannya. Tan malaka merupakan korban kebiadaban masa Orde Baru karena nama, sejarah serta pemikiran-pemikiran beliau dilupakan dan ditenggelamkan oleh pemerintah Orde Baru yang menganggapnya seorang komunis, karena pada sejarahnya dia pernah bergabung dengan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1921.
Perjuangannya memang sepaham dengan ideologi komunisme yang memperjuangkan hak kelas dalam bermasyarakat, melihat kondisi Indonesia pada saat itu yang sedang dijajah oleh Belanda, dia memperjuangkan kaum proletar untuk melawan borjuasi sebagai pemeras, penindas di bangsanya serta menghancurkan imperialisme dan kolonialisme Barat.
Dengan memperjuangkan kaum plotelariat, Tan Malaka dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) membuat sebuah program nasional PKI, salah satunya dari bidang ekonomi dengan menasionalisasikan seluruh kekayaan alam yang ada di Indonesia ini. Karena merdeka 100% adalah perjuangannya, dia tidak ingin berkompromi dengan pihak kolonialisme karena ―tidak ada tuan rumah yang ingin kompromi dengan pencuri terhadap barang-barang rumahnya‖ serta bidang politik-sosial, pendidikan, dan militer. Namun beliau tidak lama keluar dari PKI karena komunisme sering sekali dikaitkan dengan anti agama (atheis) padahal Tan Malaka berpikiran untuk menggabungnya dengan Islamisme karena menurutnya, budaya timur dapat mendirikan aksi massa yang kuat apabila bergabung dengan Komunisme untuk melawan dan mengusir imperialisme-kolonialisme Belanda pada saat itu.
Tan Malaka menyatakan pada kongres Internasional Komunis ―Ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim .Mungkin pernyataan tersebut dihimpun dari sejarah hidup Tan Malaka yang beragama Islam dan mendapat gelar datuk. Sepengetahuan saya, gelar ―datuk tersebut diperjelas pada pernyataan seorang laki-laki tua
yang mengaku setanah kelahiran dengan Tan Malaka di acara diskusi buku Tan Malaka, ‗Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia‘ yang dihadiri oleh Harry A. Poeze sebagai penulis dan peneliti Tan Malaka selama 41 tahun. Bertempat PSBJ FIB Unpad, dia mengatakan bahwa gelar datuk seseorang didapat apabila dia sudah mehtamamkan Al-Quran dan itu memperjelas bahwa Tan Malaka adalah seorang muslim. Namun tetap tidak dapat dipungkiri bahwa ada kontradiksi antara komunisme dengan Islamisme sebenarnya. Tan Malaka tetap menginginkan adanya gerakan nasionalisme-revolusioner dengan metode boikot yang berbeda dengan metode komunisme. Metode boikot ini menurut Tan Malaka adalah gerakan tajam atas situasi politik-militer di Timur, karena keberhasilan metode ini yang diterapkan oleh Mesir dan Cina pada tahun 1919-1920 untuk melawan imperialisme Barat. Oleh karena itu Tan Malaka merasa relevan untuk memakai metode Boikot di Indonesia. Perjuangan Tan Malaka untuk dapat menggabungkan ideolegi komunisme dan Pan-Islamisme tetap kokoh karena Pan-Islamisme memperjuangkan pembebasan nasional yang bagi kaum Muslim Islam saat itu adalah segalanya. Namun tidak hanya agama, diperjuangkan juga negara, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya.
Dengan demikian Pan-Islamisme berarti persaudaraan yang tertindas dan perjuangan penduduk Jawa dan Kaum tertindas untuk mereka 100%. Begitu pula dengan gerakan Tan Malaka selanjutnya yang tetap berjuang untuk Indonesia merdeka 100% dengan medirikan Partai Murba (Partai Ploletar), yang bertujuan agar tanah milik menjadi hak pekerja, dimana semua petani menguasai sektor produksi dan distribusi. Tetapi Tan Malaka pun sadar bahwa tidak mungkin menguasai produksi dan distribusi tanpa permesinan dan hak milik tanah bagi kaum ploletar. Maka hal utama yang dituangkan pada strategi Partai Komunis Indonesia yaitu menasionalisasikan hak milik tanah bagi pekerja karena masalah inilah yang menimbulkan penindasan di kaum proletar.
Labels: Pena Perempuan