‘’Peranan dan Pengaruh Etnis Tionghoa di Indonesia‘'

Struktur masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, dan adat istiadat yang mencerminkan sebagai negara majemuk. Seperti yang diungkapkan oleh J.S Furnivall tentang masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda  adalah  masyarakat majemuk (plural society) yang  tanpa ada asimilasi pada kesatuan politik dan adanya kehendak bersama (common will). Pembaruan pada masyarakat Indonesia yang pluralis, dimungkinkan terjadinya perkawinan silang antar etnis karena faktor geografis dan pengembaraan ke suatu daerah tertentu di Indonesia, yang menghasilkan generasi campuran/antaretnis.
Pada masa Hindia-Belanda , masyarakat Indonesia dikategorikan kepada tiga kelas oleh J.S Furnivall; kelas pertama orang Belanda adalah golongan minoritas, yang jumlahnya semakin bertambah banyak, terutama pada abad XIX, merupakan penguasa yang memerintah bagian besar orang Indonesia, yakni pribumi yang menjadi warga negara Indonesia menjadi kelas ketiga[1]. Kedudukan menengah dari struktur masyarakat plural Indonesia, yaitu kelompok etnis Tionghoa yang termasuk sepuluh besar kelompok etnis dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, etnis Tionghoa mengambil andil penting dalam sejarah peranan dan pengaruh di Indonesia. Pada catatan sejarah, kasus politik etnis Tionghoa telah dua kali melakukan langkah politik, yaitu pertama, pada tahun 1740 terjadi pemberontakn masyarakat Tionghoa melawan Belanda di Batavia (Jakarta) “mereka berhasil merebut posisi kompeni Belanda di Meester Cornelis dan Tanah Abang berhasil membunuh 50 orang serdadu kompeni, kemudian kekuatan Tionghoa itu berhasil dibersihkan oleh van Imhoff yang berkekuatan lebih dari 1.800 orang serdadu”[2]. Yang kedua, pada tahun 1777 masyarakat Tionghoa membangun kerajaan kecil yang disebut Lanfang Gonghegou (Republik Lanfang) di Mandor Kalimantan Barat.
Nasionalisme etnis Tionghoa pun semakin tinggi pada era 1900 dengan adanya pembentukan sebuah organisai Tiong Hoa Hwe Koan, yang bertujuan untuk mengingatkan masyarakat Tionghoa akan pentingnya konfusianisme (kemanusiaan). Gerakan ini juga berfokus dalam membangun sekolah untuk golongan etnis Tionghoa. Kemudian, organisasi-organisasi etnis Tionghoa semakin berkembang dengan munculnya organisasi Tiong Hoa Hak Tong yang mendirikan sekolah di seluruh Jawa dengan menggunakan pengantar bahasa Cina[3]. Etnis Tionghoa tidak hanya bergerak pada organisasi dan sekolah saja, mereka pun menerbitkan surat kabar Tionghoa peranakan dalam bahasa Melayu Tionghoa, seperti Li Po (1901 di Sukabumi), Chabar Perniagaan (1903 di Batavia), Pewarta Soerabaia (1902 di Surabaya), dan Djawa Tengah (1909 di Semarang).
Nasionalisme etnis Tionghoa pun berlanjut, setelah organisasi Tiong Hoa Hwe Koan berhasil mendirikan sekolah untuk golongan etnis Tionghoa, organisasi ini selanjutnya berubah haluan menjadi gerakan politik bagi orang Cina di Indonesia yang di sebut Gerakan Cina Raya. Gerakan Cina Raya berkembang dengan pesat pada sektor perdagangan yang dikenal “Kamar Dagang Tionghoa” yang terbentuk di seluruh Jawa[4]. Gerakan ini pun mempersatukan orang Tionghoa Hindia-Belanda dan berorientasi secara kultural dan politik ke negeri Cina. Ada tiga aliran utama dalam dunis politik Tionghoa adalah kelompok Sin Po, Chung Hwa Hui (PHH), dan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang didirikan pada tanggal 25 September 1932. Saat berdirinya kelompok politik Tionghoa dibantu oleh Persatuan Bangsa Indonesia dan kaum nasionalis Indonesia, terutama dr. Soetomo dan Soeroso.
Kelompok aliran politk Tionghoa pun melakukan peranan politiknya,seperti gerakan politik yang dilakukan oleh kelompok Sin Po adalah saat menunjukan sikap penolkan terhadap Wet op het Nederlandsche Onderdaanschap (WNO) atau Undang-Undang tentang Kawula Negara Belanda. Kelompok Sin Po menghendaki orang Tionghoa Hindia-Belanda mempertahankan kebagsaan Cina dan berusah menarik golongan peranakan lebih dekat ke Cina dengan membuat mereka lebih menyerupai Cina totok.
Berbeda dengan kelompok Sin Po, kelompok Chung Hwa Hui mengambil sikap dengan mempertahankan identitas etnis Tionghoa di Hindia Belanda, namun mereka menerima tentang Wet op het Nederlandsche Onderdaanschap, serta melakukan kerjasama dengan pemerintah kolonial untuk kemakmuran Hindia-Belanda.
Sejarah etnis Tionghoa Orde Lama
            Saat menjelang kemerdekaan Indonesia 1945, peranan golongan Eropa sudah terlempar keluar sistem sosial masyarakat, yang digantikan oleh golongan Jepang yang menjadikan Indonesia negara jajahan. Namun pada akhirnya masyarakat Indonesia dengan berbagai etnis, saat-saat menjelang kemerdekaan golongan pribumi menempati peranan penting dalam dinamika sosial politik dan budaya.
Kelompok politik Tionghoa yang ketiga yaitu Partai Tionghoa Indonesi (PTI), berperan dan berpengaruh dalam kemerdekaan Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa Partai Tionghoa Indonesia adalah partai yang memiliki latar belakang partai kiri, bersikap anti-kolonial, dan mempertahankan identitas golongan etnis Tionghoa di kalangan masyarakat Indonesia yang terasimilasi dengan golongan pribumi. Etnis Tionghoa pun sejak masa kemerdekaan mnuntut kesamaan hak (equality) dan kewajiban dengan orang pribumi yang sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Liem Koen Hian sebagai pendiri Partai Tionghoa Indonesia juga terlibat sebagai anggota BPUPKI yang mengatakan bahwa partainya pro-kewarganegaraan Indonesia.
            Menjelang kemerdekaan Indonesia, masyarakat Tionghoa di Indonesia masih mengalami perpecahan menurut berbagai orientasi politik, yang menyebabkan dinamika sosial politik pro-Indonesia, pro-Tionghoa, dan pro-Jepang jalan berdampingan. Liem Koen Hian juga berpidato di Sidang Peripurna Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 11 Agustus 1945 mendesak BPUPKI untuk medeklarasikan bahwa orang Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai warga negara Indonesia di dalam Undang-Undang Dasar Indonesia yang akan datang, karena orang Tionghoa melihat Indonesia sebagai tanah air mereka karena mereka tinggal di Indonesia. Namun Oei Tjong Hauw, mantan pemimpi CHH, beranggapan dalam UUD di masa depan, seluruh orang Tionghoa menjadi warga negara Tiongkok meskipun mereka tinggal di Indonesia, dan editor surat kabat Tionghoa pernakan pro-Jepang mengatakan bahwa orang Tionghoa lokal harus diizinkan untuk memilih warga negara Indonesia atau Tiongkok. Jadi, pada saat persiapaan kemerdekaan Indonesia, orientasi politik etnis Tionghoa Indonesia terpecah dalam beberapa faksi politis.
            Identitas etnis dan nasionalisme Tionghoa memang dipertahankan dan dipelihara dengan baik oleh keturunan Tionghoa, setelah Perang Dunia II bermunculan kembali organisasi-organisasi etnis Tionghoa kepermuakaan. Salah satu organisasi tersebut adalah, Persatuan Tionghoa (PT), yang terbentuk atas dasar kepentingan masyarakat Tionghoa yang didirikan pada tahun 1948. Setelah Persatuan Tionghoa berjalan 2 tahun tepatnya 1950, organisasi ini mengalami perubahan nama menjadi Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI) sebagai partai lokal dari kalangan pekerja kerah putih, profesional, dan usahawan Tionghoa, PDTI bersikeras mempertahankan identitas Tionghoa yang terpisah dari Indonesia dan menegaskan untuk mempertahankan partai politik Tionghoa sebagai hak kalangan minoritas.
Di masa demokrasi terpimpin golongan etnis Tionghoa mendapatkan peran dan pengaruh politik Inodesia, seperti terdapat beberapa menteri dari etnis Tionghoa salah satunya ialah Oei Tjoe Tat yan menjadi menteri yang diperbantukan dalam presidium kabinet Bung karno ia cenderung menjadi tangan kanan Bung Karno terutama ketika terjadi Konflik dengan Malaysia. Pada masa dibentuk lembaga yang bertujuan membela keturunan Tionghoa dari diskriminasi aturan negara, mulanya tercetus nama Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Turuanan Tionghoa (Baperwat), namun mengalami berdebatan karena menggunakan kata “Tionghoa” dan pada akhirnya merubah menjadi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang diketuai Siauw Giok Tjhan dan wakilnya Yap Thiam Hien. Dengan tebentuknya Baperki, maka leburlah PDTI (pusat maupun cabang) otomatis berubah menjadi Baperki. Sebagai golongan etnis Tionghoa, langkah ini merupakan sejarah besar serta sejalan dengan sambutan hangat oleh Bung Karno yang mengatakan “Di dalam negara kita tidak boleh adanya mayokrasi, tapi tidak boleh juga minokrasi”.
Baperki ini merupakan jalan awal politik bahkan kekuatan politik yang besar dalam melawan diskriminasi ras, menuntut jaminan yang kuat di dalam konstitusi akan hak-hak minoritas, bercita-cita memperjuankan persamaan hak di antara warga negara dan membangun masyarakat yang sosialis.
Di dalam Baperki sendiri tak jarang terdapat perbedaan-berbedaan secara “politis” yang terjadi, seperti ketika membahas kedudukan wrga peranakan Cina. Giok Tjhan dan mereka yang berhaluan kiri menerima konsep integrasionis, karena menjadi bagian dari Indonesia mesti terintegrasi bagai bunga yang hidup berdampingan dalam sebuah taman, namun adapula selisih pendapat yang tidak mementingkan adanya integrasionis.
Pada masa Indonesia akan kembali ke UUD 1945, ada perselisihan antara para petinggi Baperki yang setuju terhadap keputusan tersebut, amun wakil ketua Yap Thiam Hien tidak menyetujui. Yap beranggapan konstitusi bentukan BPUPKI terlalu otoriter, UUD 1945 menyediakan ruang terlalu lebar bagi Sukarno untuk bertindak one man show, dan yang membuat paling cemas adalah melemahkan sendi Hak Asasi Manusia (HAM). Sejarah negara berkonstitusi menurut Yap seorang keturunan Tionghoa adalah sejarah perjuangan rakyat melawan tirani, depotisme, dan absolutisme. Konstitusi adalah manifestasi dari kemenangan keadilan (justice) atas kesewenang-wenangan dan kekuasaat mutlak. Namun dukungan politik Yap, tidak sepadan dengan perjuangan dia membela tidak kembalinya ke UUD 1945, Soekarno pun tetap membubarkan Konstiuante karena dasar desakan Angkatan Darat (AD) dan beranggapan Konstiuante yang dibentuk pada November 1956 terlalu lambat.
Ternyata kemuduran yang dikhawatirkan Yap terjadi, pada tahun 1959, Pemerintah mengeluarkan PP No.10/1959, yang isinya melarang orang-orang Cina asing berdagang di tingkat kabupaten kebawah. Akibatnya ratusan ribu orang Tionghoa terpaksa melakukan repartriasi ke RRC, dan para komandan militer (Angkatan Darat) khususnya di Jawa Barat melarang orang Cina bertempat tinggal dipedesaan. Konsep pemerintah mengenai nasionalisasi perusahaan sungguh meminggirkan golongan etnis Tionghoa, serta mengakibatkan lebih dari 100.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia selama tahun 1960-1961 dan mayoritas mengalami kesengsaraan. Hal ini pun dikaitkan dengan “intrik-intrik” politik negara Indonesia dan Tiongkok dan ada peningkatan teror dalam perbatasan-perbatasan Indonesia sendiri, seperti pada tahun 1963 terjadi kerusuhan rasial pecah dibeberapa tempat di Jawa. Pada masa ini perlakuan aparat militer yang menjadi alat negara telah mampu mendiskreditkan etnis Tionghoa sabagai golongan pendatang yang harus tunduk pada masyarakat yang mempunyai tanah kelahiran (pribumi). Namun, kenyataan yang terjadi menjadi paradoks karena adanya lobi-lobi penguasa yang tidak bisa menghindar dari sebagia elite etnis Tionghoa. Disisi lain, bangkit pula semangat nasionalisme yang cenderung mengacu pada sentimen primordial adalah faktor lain yang mengakibatkan suramnya rasialisme di Negara Republik Indonesia.
Sejarah etnis Tionghoa Orde Baru
            Runtuhnya rezim Orde Lama membawa kebankitan terhadap diskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia, measa pemerintahan Orde Baru tetap mebuat etnis Tionghoa mengalami diskriminasi rasial dan hilangnya hak asasi manusia, contohnya sebagai berikut ;
  1. mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda Penduduk
  2. tidak bolehnya warga etnis Tionghoa menjadi pegawai negeri serta tentara
  3. pelarangan warga etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di pedesaan.
Itu hanya sebagian contoh kecil mengnai sikap pemerintah Orde Baru terhadap golongan etnis Tionghoa, masih banyak lagi hal-hal yang merenggut Hak Asasi Manusia terhadap kaum minoritas ini.
Selama pemerintahan Orde Baru, yang dipimpin oleh Soeharto selam 32 tahun, golongan etnis Tionghoa mengalami kekangan keras terhadap aspek politik dan aspek budaya. Pada aspek politik pemerintah Orde Baru mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 tentang Larangan Komunisme dan Marxisme-Leninisme karena dianggap bahaya laten bagi ketahanan nasional. Baperki yang diketuai oleh Siaouw Giok Thjan, yang dianggap berhaluan Komunisme, langsung menghentikan kreativitas politiknya. Meskipun ada orang-orang etnis Tionghoa yang terlibat dalam politik praktis, namun keterlibatannya tidak terlalu menonjol.
Pada aspek budaya, Pemerintah Indonesia mengelurkan PP No.14/1967, yang berisi larangan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat Cina di Indonesia. Konsiderasi Inpres tersebut lengkapnya berbunyi, sebagai berikut.
   “Agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psikologi, mental, dan moral yang kurang wajar terhadap warga Indonesia, sehingga merupakan hambatan terhadap asimilasi perlu diatur serta ditetapkan fungsinya pada proporsi yang wajar”.[5]
Jadi, inti dari PP No.14 tahun 1967 adalah harus adanya stabilitas politik negara yang kacau balau akibat adanya peristiwa G/30S pada tahun 1965, dan korelasi dengan etnis Tionghoa adalah karena organisasi/lembaga Baperki dianggap berhaluan Komunisme yang pada “sejarahnya” menjadi dalang dalam pemberotakan 1965.
Pada tanggal 7 Juni 1967, Soeharta mengelurkan suran “Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina” yang berisi tentang etnis Tionghoa WNA yang memounya itikad baik akan mendapat jaminan keamanan dan perlindungan atas kehidupan, kepemilikan, dan usahanya. Surat edaran ini kemudian di tindak lanjuti dengan Keputusan Presiden pada Desember 1967 yang isinya menyatakan bahwa Pemerintah tidak membedakan antara Tionghoa WNA dan Tionghoa WNI.
Untuk menhindari “ekslusif” terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, pemerintah mengasimilasikan orang-orang etnis Tionghoa dan melakukan baerbagai usaha untuk memutuskan hubungan mereka dengan leluhurnya. Proses asimilasi ini terlihat sebagai berikut;
  1. Aturan penggantian nama
  2. Melarang segala bentuk penerbitan degan bahasa serta aksara Cina
  3. Membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam keluarga
  4. Tidak mengizinkan pagelaran dalam perayaan hari raya tradisional Tionghoa di muka umum
  5. Melarang sekolah-sekolah Tionghoa dan menganjurkan anak-anak Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum negeri atau swasta
Hubungan dikeluarkan kebijak ini adalah adanya kepentingan ekonomi dengan kepentingan politik pemerintahan. Pada era Orde Baru kata diskriminasi rasial “haram” untuk di sebutkan, bhkan untuk diperbincangkan yang disiasati oleh pemerintahan Orde Baru menjadi SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang tetap tidak boleh diperbincangkan, jadi hanya dibiarkan begitu saja seperti air mengalir tanpa ada tindak lanjutnya dari pemerintah, walaupun sebenarnya terjadi konflik SARA.
            Diskriminasi golongan etnis Tionghoa terlihat pula dari sikap Pemerintah yang megharuskan etbis Tionghoa yang berada di Indonesia memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SKBRI) yang berbentuk paspor tersebut. Dalam proses memiliki SKBRI ini pun tidak mudah, bahkan sering menyakitkan bagi orang Tionghoa. Contoh suatu kisah dari Teddy, konsultan IT keturunan Tionghoa yang akan membuat SKBRI , petugas disana meminta dia menyanyikan lagu Indonesia Raya terlebih dahulu, lalu petugas bertanya “siapa pengarannya dan dimana pengarang tersbut meninggal?”. Seolah-oleh petugas SKBRI ini pun tidak memilik rasa menghargai antargolongan.  
Diskriminasi yang terjadi pada pemerintahan Orde Baru sangat terlihat jelas, karena diambilnya hak berpolitik sebagai salah satu etnis yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah hanya menyediakan sedikit sekali orang etnis Tionghoa yang dapat berperan dalam politik praktis. Tetapi golongan etnis Tionghoa tetap berfokus atau mengalihkan kegiatannya pada kegiatan ekonomi mulai dari tingkat pusat, provinsi, sampai di kabupaten/kota yang ditekuni selama 32 tahun sepanjang pemerintahan Orde Baru. Dari hasil kegiatan ekonomi, etnis Tionghoa berhasil mendominasi ekonomi nasional dan ini pula yang menjadi alasan jarang orang-orang Tionghoa yang ingin bersimggungan dengan kegiatan politik.
Pada masa Orde Baru ada sekitar 10 produk perundang – undangan yang sangat diskriminatif secara rasial terhadap etnis Tionghoa, yaitu :
  1. Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina
  2. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina
  3. Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina
  4. Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina
  5. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng
  6. Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah Cina
  7. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina
  8. Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina
  9. Surat edaran SE.02/SE/Ditjen/PPG/K/998, yang melarang penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa Cina di depan umum.
  10. Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1998, yang melarang penggunaan lahan untuk mendirikan , memperluas, atau memperbarui kelenteng Cina.
Dari contoh perundang-undangn di atas pun terlihat bahwa pemerintah Orde Baru memang secara sistematis melakukan diskriminasi rasial terhadap golongan etnis Tionghoa. Masa transisi era Orde Lama ke era Orde Baru bukan menghilangkan diskriminasi, bahkan menjadi meningkatkan diskriminasi rasial untuk golongan etnis Tionghoa di Indonesia. Orde Baru juga telah melakukan asimilasi total terhadap masyarkat Tionghoa, seperti penghpusan tiga pilar etnis Tionghoa yaitu; organisasi Tionghoa, media massa Tionghoa, dan sekolah Tionghoa, telah di hapus, dan dibuang jauh saat rezim ini berkuasa. Rezim yang mementingkan stabiltasi sosial-politik tanpa adanya rasa menghargai (toleransi) antargolongan. Seperti yang dikatakan oleh John F. Kennedy “The hottest places in Hell are reserved for those who in a period of moral crisis maintain neutrality”.
Sejarah etnis Tionghoa sejak Reformasi
            Sebelum reformasi Indonesia, pada tanggal 9 Juli 1996 muncul kententuan Keputusan Presiden No.56/1996, yang isinya, semua peraturan yang mensyaratkan SKBRI dihapus. Yang menjadikan etnis Tionghoa tidak perlu memiliki nama Indonesia untuk syarat tinggal di Indonesia, orang-orang etnis Tionghoa dapat menggunakan nama turunan Tionghoa. Keputusan Presiden ini pun diperkuat oleh Intruksi Presiden No.26/1998. Sedikit demi-sedikit diskrimiasi yang dirasakan oleh golongan etnis Tionghoa telah dihapuskan dari konstitusi.
            Pada puncak Reformasi, pecah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan Solo terdapat korban tewas dan terjadi pemerkosaan terhadap para wanita keturunan Cina, sekitar 5.000 warga keturunan Cina Indonesia melarikan diri ke luar negeri. Setelah pemerintahan Orde Baru runtuh, etnis Tionghoa dapt menghirup udara segara politik praktis seperti 5 Juni 1998, Lieus Sungkharisma, bendahara Komite Nasional Pemuda Indonesia, yang mendirikan Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) yang bertujuan untuk memperjuangkn integrasi keturunan Cina ke dalam bangsa Indonesia, Partai Pembaruan Indonesia (yang tidak bertahan lama, sehingga menjadi asosiasi biasa), dan Partai Bhineka Tunggal Ika (PBI). Bermunculan juga organisasi non-government organization (NGOs), contohnya Solidaritas Nusa-Bangsa(SNB), Gerakan Anti-Diskriminasi (Gandi), Paguyuban Marga Sosial Tionghoa Indonesia (PSSTI), dan Perhimpunan INTI dibenuk untuk memperjuangkan nasib Tionghoa di Indonesia.
            Catatan sejarah kelam dari kalangan etnis Tionghoa pada era Orde Baru, banyak orang-orang Tionghoa yang kecewa terhadap pemerintahan Soeharto, efek yang terjadi saat pasca reformasi tahun 1999 ketika pemilu, banyak Tionghoa yang mendukung PDIP dibandingkan Golkar. Sedangkan partai politik Tionghoa sendiri seperti Parti dan Partai Pembaruan tidak ikut pemilu, yang mengikuti hanya Partai Bhineka Ika (PBI) Nurdin Purnomos. Sikap apolitis atau kurangnya minat terhadap politik yang terjadi pada kalangan Tionghoa, menimbulkan tiga efek negatif seperti yang di katakan oleh Lin Che Wei, C.F.A seorang Direktur Independent Research & Advisor yaitu;
1.      Polarisasi yang memungkinkan suburnya crony capitalism-etnis Cina, khususnya para pengusaha besar, yang menjadi target “sumber penanaan” kegiatan politik tertentu.
2.      Etnis Tionghoa sering terlihat tidak mengambil sikap atau berpihak di bidang politik , kecenderungan akan diberikan terhadap yang memberikan “perlindungan” dan menjamin kelangsungan bisnis mereka.
3.      Ketidakmauan etnis Tionghoa terjun di kegiatan non-bisnis, menyebabkan market-dominant minorities makin parah.
Era pemerintahan pasca-Orde Baru mulai menjalankan “multikulturalisme”, memunculkan ke-ekslusif-an terhadap etnis Tionghoa, dan mulai muncul kembali tiga pilar etnis Tionghoa, walaupun tidak terlalu berpengaruh terhadap peranakan Tionghoa di Indonesia. Namun era ini, memunculkan kembali simbol etnis Tionghoa di Indonesia yang sudah  lama dibungkam oleh rezim otoriter, karena rezim reformasi sudah memberikan kebebasan politik terhadap etnis Tionghoa, udara segara demokrasi di Indonesia yang melai mengaplikasikan ke-Bhineka Tunggal Ika tanpa harus ada yang terdiskriminasi karena hak asasi suatu golongan tidak diindahkan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
            Jadi, sejarah etnis Tionghoa di Indonesia mengalami dinamika politik yang luar biasa sejak masa penjajahan, samapai akhirnya terjadi dekonstruksi sosial-politik terhadap rezim Orde Baru ke rezim Reformasi, di mana pasca-Reformasi memunculkan “esensial identitas”, yang berarti setiap etnis diakui oleh pemerintah, dan menjadi era baru untuk etnis Tionghoa, seperti kebebasan yang belum pernah diperoleh selma ini. Di era pasca-Reformasi ini muncul pejabat publik berdarah Indonesia-Tionghoa setelah Bob Hasan, yakni Kwik Kian Giedan Mari Elka Pangestu. Lalu munculnya sosok Basuki T.Purnamayang pernah memimpin Kabupaten Belitung Timur, dan pada tahun 2012 terpilih sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta yang berdampingan dengan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI melalui pemilihan langsung, ini merupak hasil dekonstruksi sosial-politik yang terjadi di Indonesia. Dan pada akhirnya setelah perhelatan pemilu Presiden 2014 terpilihnya Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia periode (2014-2019) dan mengundurkan diri sebagai Gubernur DKI, otomatis membuat Basuki T. Purnamayang naik menjadi Gubernur DKI pada tahun 2014.
            Fenomena ini menunjukan bahwa sudah tidak ada sekat antara pribumi dan etnis Tionghoa di ranah politik perkotaan, walaupun masih ada anggapan pro-kontra terhadap anggapan bahwa “Basuki T.Purnamayang sebagai keturunan Tionghoa menjadi seorang pemimpin di tingkat ibu kota”.
            Oleh karena itu, slogan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai simbol Negara Indonesia seharusnya dikaji kembali apabila ada anggapan WNI yang ber-etnis Tionghoa tidak boleh memimpin di lingkungan politik. Karena Indonesia adalah keberagaman yang tetap satu, menjunjung tinggi rasa toleransi antar agama, etnis, adat istiadat, kedaerahan. Walaupun seseorang yang memimpin adalah dari etnis minoritas itu tidak menjadi masalah, yang terpenting pemimpin ini tidak menimbulkan perpecahan yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena seluruh Warga Negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk tercapainya keadilan (justice) dalam bermasyarakat.

Catatan kaki : 

[1] M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik, Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta: 2012, hal. 2.
[2] Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, Trans Media Pustaka. Jakarta: 2008, hal. 13.
[3] Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa di Indonesia 1900-2002, LP3ES. Jakarta: 2005 hal. 19.
[4] Ibid, Leo Suryadinata, hal. 23.
[5] Badan Kordinasi masalah Cina(BKMC), dalam buku M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik, Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta: 2012, hal. 14.


Daftar Pustaka


Avalokitesvari, N. N. (2014, March 15). Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia Pada MAsa Orde Lama dan Orde Baru. Dipetik November 4, 2014, dari tionghoa.info
Ode, M. L. (2012). Etnis Cina Indonesia dalam Politik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Salim, E. Y. (2012, December 22). Potret Indonesia-Tionghoa : Ambiguitas di Tengah Era Kebebasan. Dipetik November 4, 2014, dari www.indonesiamedia.com
Suryadinata, L. (2004). Majalah Tempo Edisi Etnis Cina di Zaman yang Berubah. Etnis Tionghoa sejak Reformasi, 38-39.
Warsidi, A. (2013). Majalah Tempo Edisi Bercermin pada Yap Thiam Hien. 'Lone Ranger' Penentang UUD 1945, 83-84.
Warsidi, A. (2013). Majalah Tempo Edisi Bercermin pada Yap Thiam Hien. Tersingkir di Jalan Lurus, 80-81.
Wei, L. C. (2004). Majalah Tempo Edisi Etnis Cina di Zaman yang Berubah. Fase Baru Peranan Etnis Cina di Indonesia, 46-47.


Labels: