Perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM)
di Indonesia
Memasuki
era-modern, Hak Asasi Manusia semakin ramai dengan isu-isu yang terjadi di
kalangan masyarat Indonesia pada khususnya. Sejarah perkembangan HAM di
Indonesia, berawal dari dibentuknya UUD 1945 yang membahas tentan Hak Asasi
Manusia di pasal 28. Apalagi dalam UUD RIS dan UUDS tahun 1950 masalah HAM
lebih gamblang dijelaskan. Namun keputusan Presiden untuk kembali lagi kepada
UUD 1945, membawa Hak Asasi Manusia pada permasalahan yang bersifat umum.
Pada
tahun 1970-an, Orde Baru mulai tumbuh dengan mengedepankan stabilitas politik
untuk menjauhkan masyarakat Indonesia dari “racun komunisme” dengan
mengeluarkan UU Anti Subersiv (UU No.5 Tahun 1969). Hal ini sebagai landasan
pemerintah membentuk 3 lembaga untuk merepresi masyarakatnya sendiri, seperti ;
1. BAIS
(Badan Intelejen Strategis)
2. Bakin
(Badan Koordinasi Intelejen)
3. Kopkamtib (Komando Keamanan dan Ketertiban).
Tiga lembaga tersebut berhasil menimbulkan
kestabilan politik di Indonesia dengan merampas hak rakyatnya sendiri, karena
seyogyanya lembaga tersebut tidak diperuntukan untuk kepentingan rakyat
Indonesia pada saat itu, tetapi hanya untuk kepentingan kaum elite yang tidak
ingin ada masyarakat yang “melenceng” dari aturan yang pemerintah dibuat. Dengan
adanya tiga lembaga tersebut, banyak kegiatan yang melanggar Hak Asasi Manusia,
bertentangan dengan konstitusi, dan masyarakat yang menjadi korban karena tidak
adanya lembaga mengenai hak kemanusiaan pada saat itu.
Pemerintahan Orde Baru, selalu mengeluarkan berbagai
argumen untuk tidak sependapat dengan gagasan HAM Universal. Karena menurut
pemrintahan Orde Baru HAM Universal tidak sesuai dengan budaya dan landasan
dasar Pancasila di Indonesia. Namun isu-isu kemanusiaan saat era-OrdeBaru
memang sangat gesit beredar di dalam maupun di luar negeri, sampai akhirnya
pemerintah takluk dalam tuntutan untuk membuat HAM Universal, karena sudah tak
ada alasan untuk tidak mendirikan lembaga tersebut.
Akhirnya setelah berbagai tekanan yang diterima oleh
Departemen Luar Negeri dari banyak negara di forum Internasional tentang isu
kemanusiaan yang terjadi di Indonesia. Langkah awal Pemerintahan Indonesia
adalah bergabung dengan komisi HAM PBB tahun 1990. Setahun setelah itu,
Indonesia membuat sebuah seminar HAM Asia Pasifik di Jakarta pada tahun 1991.
Akhirnya, pada tanggal 7 Juni 1993 Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan
Presiden No.50 tentang pembentukan Komnas HAM Indonesia dan setelah berjalan 5
bulan pada tanggal 7 Desember 1993 ditunjuklah
25 orang menjadi anggota Komnas HAM yang diketuai Ali Said (mantan Ketua
Mahkamah Agung).
Lembaga Komnas HAM ini bersifat independen yang
memiliki kedudukan yang setara dengan lembaga negara lain dalam melaksanakan
pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi HAM di Indonesia. Tidak
dapat dipungkiri berdirinya Komnas HAM ini banyak dikhawatirkan oleh aktivis
masyarakat karena lahir pada era-Orde Baru yang di biayai oleh Sekretariat
Negara dan anggotanya yang ditunjuk oleh pemerintah. Namun, lembaga ini dapat
membuktikan sikap netral dalam mengatasi permasalahan HAM di Indonesia, karena
kita sadari dalang dari pelanggaran HAM yang terjadi di era Orde Baru adalah
pemerintah untuk menjaga kestabilan politik. Komnas HAM sangat membantu
masyarakat dalam pertumbuhan kemanusiaan di Indonesia, lembaga ini menjadi
mitra masyarakat, mitra korban pelanggaran HAM, dan tumpuan untuk mengadu dalam
bidang kemanusiaan. Komnas HAM juga bekerja sama dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang memiliki orientas terhadap permsalahan HAM dan demokrasi
di Indonesia, seperti ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), KIPP
(Komite Independen Pemantau Pemilu), dan Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan).
Rezim Orde Baru sudah memberikan sebuah kestabilan
politik tanpa adanya Hak Asasi Manusia, tidak adanya pers, kebebasan berserikat
atau berkumpul. Setelah hancurnya rezim Orde Baru, Mei 1998 awal terbukanya
perkembangan HAM di Indonesia dan memberikan ruang ber-demokrasi untuk Warga
Negara Indonesia. Permasalahan HAM ini dianggap begitu penting karena
menyangkut hubungan antara Negara dengan masyarakatnya, oleh karena itu pada 13
November 1998 MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR 1998 tentang HAM
dengan melampirkan Piagam HAM. Lalu dibentuknya UU No.39 tahun 1999 yang
menegaskan tentang perlunya jaminan atas HAM, dan dibentuk pula pengadilan HAM
dengan UU No.26 tahun 2000. Negara hukum seperti Indonesia memang dibutuhkan
kepastian dan terjaminnya HAM, hal ini membuktikan keseriusan Indonesi dalam
menangani pelanggaran-pelanggaran tentang HAM. Namun tak sedikit pula
pelanggaran-pelanggaran yang belum terselesaikan sampai saat ini.
Berikut adalah beberapa contoh kasus pelanggaran HAM
yang terjadi di Indonesia, yaitu;
1.
Kasus Marsinah. Seorang buruh pabrik PT.
CPS (Catur Putra Surya) Porong, Jawa Timur, yang ditemukan tewas setelah
beberapa hari sebelumnya mengadakan unjuk rasa untuk meminta kenaikan upah
buruh pada tahun 1993. Seorang buruh wanita pemberani yang bangkit dari
keresahan, untuk merdeka sebagai buruh pabrik yang hanya di kejar oleh jam
produksi. Setelah terjadinya unjuk rasa pada Mei 1993, beberapa hari kemudian
Marsinah sempat menghilang dan ditemukan tewas dengan tanda-tanda penganiayaan
berat. Untuk melacak kasus ini, ditangkapnya 10
orang tersangka, namun karena tidak terbukti bersalah mereka dilepaskan.
Sampai hari ini, para pelaku tidak tertangkap dan tidak diketahui. Kasus ini
pernah diangkat kembali oleh Komnas HAM untuk diselesaikan, namun kenyataannya
masih belum tuntas.
2.
Kasus Pembunuhan Wartawan Udin. Seorang
wartawan majalah Barnes Yogyakarta, yang dianiaya oleh orang tidak dikenal
hingga meninggal. Sebelum kejadian ini, Udin merupakan seorang wartawan yang
kritis dan sering menulis tentang kebijakan-kebijakan pemerintahan Orde Baru.
Sampai saat ini kasus pembunuhan wartawan Udin belum menemui titik terang.
3.
Kasus Trisakti. Kerusuhan Mei, Semanggi
I dan Semanggi II yang terjadi pada tahun 1998 dan 1999 di Jakarta merupakan
tombak runtuhnya Orde Baru. Penembakan terhadap 4 mahasiswa Tri Sakti yang
terjadi pada kerusuhan Semanggi masih belum dapat di ungkap siapa pelakunya.
Hanya beberapa oknum polisi yang dianggap melanggar prosedurnya sebagai aparat
Negara dalam kerusuhan Mei.
4.
Kasus Munir. Seorang aktivis HAM, Munir
meninggal dalam peasawat jurusan Jakarta-Amsterdam pada tanggal 7 September
2004. Kasus ini sudah mendapatkan tersangka yang sudah disidang, namun
dibebaskan kembali karena bukti-bukti yang ada tidak cukup kuat untuk menuntut
“tersangka”.
5.
Kerusuhan 27 Juli 1996. Tragedi
kerusuhan 27 Juli 1996 di kantor PDI Jakarta. Beberapa aktivis hilang dalam
tragedi sebelum reformasi, diantaranya adalah aktivis penyair (Wiji Tukul) yang
sampai saat ini pun belum terungkap pelakunya.
Di atas adalah hanya sebagian kecil
dari lubang besar permaslahan di Indonesia yang harus terus disoroti, supaya
tidak terlupan dan di usut hingga selesai. Empat contoh kasus ini merupakan
“pekerjaan rumah” bagi pemerintah dalam bertindak, permasalah kemanusiaan yang
ada di bumi pertiwi ini yang belum bisa terselesaikan dari beberapa transisi
pemerintahan sebelumnya. Masih banyak lagi masalah-masalah kemanusiaan yang
menjadi permasalahan kita bersama untuk menyelesaikannya. Permasalahan Hak
Asasi Manusia begitu seksi untuk selalu dibahas dan dikembangkan dalam era-modern ini,
seharusnya Pemerintah dapat lebih tegas dan mendukung atas segala kegiatan yang
menyangkut memperjuangkan hak-hak kemanusiaan di Indonesia. Harus adanya
sinergis antara lembaga hukum yang terkait, dan ketegasan aparat dalam menguak
fakta tanpa pandang bulu. Terjaminnya Hak Asasi Manusia adalah sebuah tanggung
jawab negara atas rakyatnya dalam kehidupan berbnegara dan berbangsa. Semakin
masyarakat percaya dan merasa aman terhadap Negaranya, adalah sebuah bukti
Negera maju yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan berdemokrasi.
Bibliography
Alkatiri, Z.
(2010). Belajar Memahami HAM. Jakarta: Ruas (Komunitas Bambu).
Labels: Pena Perempuan