Mataram sore ini begitu cerah menyinari semesta, bayangan
kapal di dermaga terlihat begitu serupa. Sudah waktunya senja menepi ke
semesta, setiap detik menjadi jarak untuk mendekati Mataram. Aku melihat senja
hampir tiba. Sementara itu, manusia lain pergi mendekati senja, mencari titik
temu untuk dapat berbagi senja. Mereka diburu waktu, karena takut ditinggal
tanpa pamit. Selalu berharap tepat waktu, dengan harapan ada sebuah kiriman
jingga dari kekasih hati yang berada di tepi sana. Hal ini sering terjadi di
Mataram untuk menikmati warna dipenghujung hari.
Aku hanya bersemayam di sudut tenda sambil memegang handphone yang tak kunjung ada deringnya.
Seseorang yang setiap hari lewat untuk menawarkan makanan pun tak kunjung lewat
dihadapanku. Aku mulai gelisah antara memilih menahan bersentuhan dengan air
atau menahan makanan masuk ke tubuhku. Hal-hal tidak penting mulai menghantui
pikiran.
Hari cerah ini, tak ada temanku yang datang untuk
berbincang. Aku berpikir dan mengingat-ngingat sepertinya hari ini, hari manusia
berada di baraknya, tak banyak manusia hilir mudik depan mata. Setelah begitu
lama aku merasa sesak kegerahan, aku bergeser ke kursi yang berada di dekat
pohon mengarah ke arah senja akan menepi. Benar-benar ada angin menerawangi ranting
dari balik pohon dengan jaring-jaring udara dan cahaya.
Saat aku mulai menghadap senja, tiba-tiba langit Mataram menjadi
coklat dengan garis-garis halilintar. Awan pun ikut menghitam disekelilingku.
Angin tiba-tiba melipir dari atas langit. Burung-burung berebut masuk ke rumahnya.
Ribut sekali. Aku masih ditempatku semula. Melihat semua yang terjadi di depan
mata begitu nyata.
“Ada karpet aladin”, kata orang di depan gerbang.
Saat detik kalimat itu terucap dan kudengar, aku menoleh
ke arah gerbang. Ternyata tiba-tiba aku melihat karpet menghampiriku. Seharusnya
dari arah sana senja muncul. Tetapi berubah sesaat karpet melayang mendekat,
karpet yang lebarnya hanya satu kali dua meter. Berwarna merah dan bergaris emas
menghampiriku semakin dekat. Setelah aku melihat lebih dekat, itu karpet aladin
seperti yang ada di televisi.
“Dia tiba!”, aku berteriak dengan lugas.
Tiba-tiba mendarat,
tetapi tak menyentuh tanah, sejajar dengan badanku. Dia bilang datang kemari karena
ingin meminta rinduku. Aku terheran karena mengapa tiba-tiba datang dan
langsung meminta rinduku tanpa permisi.
“Berikan aku rindumu! Aku akan mengantarnya sampai ke
Amsterdam”, ujar karpet aladin di depan kursi.
Aku hanya bisa menohok mendengar
perkataannya. Segera aku mencari rinduku, karena aku cemas dan tak langsung
percaya kepdanya. Aku berpikir bisa jadi ini pencurian berkedok, untuk menjual
rindu kepada para pencari hati. Tiga menit berlalu, karpet itu masih diam
dengan tenang menatapku tajam. Karpet itu masih menungguku, menunggu rinduku.
Menunggu aku memberikannya. Aku terjebak dalam sebuah keputusan yang sulit.
Tetapi aku memang sudah kehabisan cara untuk dapat
mengirimkan rinduku kepada kekasih hati. Rinduku tak berbalas, aku tak bisa bertukar
rindu seperti hari-hari kemarin. Pikiranku mengalir untuk sebuah keputusan. Apakah
ini adalah cara Tuhan menjawab rinduku yang tak terbalas sejak empat tahun
lalu. Selama ini aku tak pernah menerima kabar darinya. Selalu aku yang mengirim
aksara-aksaraku untuknya, tetapi aksaranya tak pernah muncul ke permukaan. Aku
selalu berharap mendapatkan beberapa aksara di pesan singkat, berbalas kata,
bahkan bertukar merpati putih dengan sepucuk surat. Semuanya hanya imajinasi
yang belum menjadi nyata. Aku selama ini selalu menanti rinduku dibalas. Aku tahu
rinduku tak pernah ingin kenal kepada jarak. Rinduku sangat benci jarak, karena
membuatku sulit untuk bertukar rindu dengannya.
Saat memasuki menit ke empat, aku memutuskan sepertinya
aku harus memberikan rinduku untuk pergi bersama karpet aladin. Walaupun
sedikit tak percaya, aku harus segera memutuskan. Sebelum karpet itu pergi dan
membawa rindu yang lain, nanti rinduku tak mendapatkan kursi karena terlalu
sesak. Aku juga khawatir rinduku akan berceceran melewati ribuan mil untuk
sampai kepadanya, karena kau harus tahu bahwa rinduku sudah meluber untuk
dirinya.
Akhirnya di menit-menit selanjutnya aku bergegas
mempersiapkan rinduku. Aku menyiapkan rinduku yang berbungkus hati. Rinduku
yang menahan rasa, berdegup kata dan berharap temu dengan dirinya. Rinduku yang
ku paket dengan lambang hati penuh dengan gejolak rasa.
Rinduku berjanji untuk sampai dengan selamat, dan membawa
semua molekulnya tanpa ada yang tercecer dalam lintas perjalanan. Aku berharap jarak
Mataram-Amsterdam tak jadi alasan rinduku menjadi minus karena berjatuhan di
semesta atau bahkan hati yang lain. Aku juga berdoa semoga rinduku jangan
sampai terkena paparan sinar kejenuhan.
“Apakah rindumu akan kau berikan?”, tanya karpet aladin
kembali dalam menit ke lima.
“Tentu saja!”
“Tunggu sebentar rinduku sedang bergegas”, aku lebih
cepat lagi membungkus rinduku dengan rapih.
Rinduku sangat bersemangat untuk mengukur jarak menjadi
rindu sejati. Menikmati kebahagian dalam ingatan yang semu. Aku menyiapkan
rinduku dengan berbekal sedikit pertanyaan untuk dirimu. Apakah kamu baik-baik
saja? Banyak kabar tentangmu yang mendarat di telinga kanan dan kiriku. Aku
dengar kau sudah banyak berubah. Berbeda, tak seperti dulu saat aku menemuimu.
Saat kau belum bertemu banyak orang. Saat kau belum tahu apa itu dunia. Aku
sungguh rindu kamu yg dahulu. Yang selalu memberi kabar di sela-sela
kesibukanmu. Kamu yang sederhana, bersahaja dan malu-malu dengan semesta yang
ada. Setiap senja menjadi bias jingga, memaksaku mengingat binaran matamu. Membuat
hatiku mulai berketir menahan rindu. Semoga jarak ini bukan alasan kau tak pernah
membalas rinduku. Semoga kau juga berharap sepertiku untuk bertemu kembali di
hari nanti. Untuk tak saling menghianati. Semoga kau mengirimkan rindumu
secepatnya, agar kita dapat selalu bertukar rindu.
“Rinduku sudah siap!”, melempar ke atas karpet merah yang
bergaris emas itu.
Tanpa permisi lagi pada menit ke tujuh mereka segera
pergi menjauh dari tempatku. Akhirnya rinduku melayang bersama karpet aladin. Aku
merasa tak karuan karena hal ini membuatku seperti kehilangan. Tetapi saat menatap
ke atas lagi mereka sudah menjadi kecil menjauh dan menghilang seperti percikan
bintang di waktu senja. Aku masih bergumam semoga ini bukan pencurian rindu.
Aku akan sangat murka bila ini adalah sebuah penipuan berkedok untuk para pencuri
hati.
Setelah percikan bintang itu berkelip satu kali,
tiba-tiba semua kembali lagi, seperti setiap hari cerah biasanya. Langit
Mataram tiba di waktu berwarna jingga dengan sedikit kemerahan. Aku masih duduk
di kursi bawah pohon menatap ke arah matahari tenggelam. Aku terus memutar
pikiran. Tetapi aku tahu bahwa rinduku belum habis. Aku akan selalu menampung
rindu hingga meluber kembali. Sampai hari itu tiba, aku akan terus sabar
menunggu. Semua memori, tak akan habis dengan kiriman rinduku yang ada di atas
karpet aladin itu. Aku akan setia menunggu bersama langit yang terus berganti
seperti lembaran kenangan. Semoga karpet aladin datang kembali membawa rindumu.
Semoga rinduku bukan rindu yang tak terbalas.