CERPEN : Haris dalam Kabin


(Poto : Merry H. Tumanggor/ @merryhaan)

Jarum jam itu sudah mendarat di angka lima dalam luasnya kotak kabin. Ada yang baru tiba depan pintu kabin Haris, suara sepatu melangkah tipis menepi. Musik terus melaju dengan saluran kabel ke lubang telinga mengantarkan ke alam yang lain. Semesta mulai menguning. Sementara itu dalam beberapa saat sudah tidak nampak cahaya, sesekali cahaya kecil muncul dari kotak pintar seluler, lalu gelap kembali setelah ditekan.

Haris sedang berada di kabin gelap tengah kota, matanya hampir terpejam, tetapi tiba-tiba terdengar suara “tok..tok..tok”. Haris tetap menempelkan kepalanya di atas bantal. Diam tak bergerak sambil menghela nafas.
Haris tetap menghiraukannya, tidak ingin menghampiri sumber suara. Dia harus tertidur, tak ingin di ganggu layaknya Armadillo yang hobi tidur 16 jam. Beberapa menit pun berlalu, yang berada di balik kabin pun terdiam dan melangkah pergi. Haris pun masih berusaha untuk dapat pergi dari dunia fana ini.

Sampai akhirnya dia pergi ke alam bawah sadar. Setelah tiga jam berlalu Haris, ada suara kejutan yang membangunkannya. Pintu kayu bergetar kembali dengan suara yang sama seperti tadi.

“Tok..tok..tok.. Ris buka pintunya, aku mau ngomong! Aku tahu kamu di dalem”, teriak seseorang sambil menggetarkan pintu kamar Haris.

Berulang kali kalimat itu diputar oleh sosok dibalik pintu. Akhirnya Haris mulai terbangun dan menyadarkan diri di alam nyata. Sambil membuka sedikit selimutnya.
Pasti dia lagi, pikir Haris sambil turun dari ranjang dan melangkah ke depan.

“Iya bentar, aku bukain”, teriak Haris yang berjalan membuka pintu kayu dalam kabinnya.

Setelah pintunya terbuka, orang itu masuk dengan kesal menatap mata Haris dan langsung duduk di depan TV di tengah ruangan. Haris yang masih setengah sadar hanya menghiraukannya dan membiarkan dia masuk.

“Aku gamau kita putus”, ucapnya begitu tergesa dan tiba-tiba.

“Hmm, kan kita udah bahas ini semaleman kemarin!”, jawab Haris sambil menutup pintu.

“Pokonya aku tetep gamau putus, Ris”

Haris yang masih mengumpulkan arwahnya yang berceceran, terdiam sejenak untuk jiwanya yang sempurna. Haris menghela nafas, berjalan ke arah kulkas dan mengambil segelas air. Haris meminumnya beberapa teguk. Haris mulai berkata.

“Aku ingin seperti mereka”

“Aku ingin masuk surga!”, sambil menaruh gelasnya di atas meja. Haris berkata lagi, bagaimanapun, aku tetap ingin masuk surga!

Haris baru saja memutuskan untuk tidak berhubungan kembali dengan kekasih hatinya. Mereka sudah menjalin kasih selama satu tahun lamanya. Pada saat satu minggu kemarin, Haris sedang disadarkan oleh keadaan. Haris merasa sangat malu kepada dirinya sendiri. Haris menyadari surga lebih indah dari pada ruang gemilang. Ah, Jakarta memang pelik, Haris terlajur jatuh dan berputar di dalamnya. Setiap malam dia selalu berkelip menikmati dunia.

“Memang ada yang salah dengan perasaan kita?”

“Aku juga gamau punya rasa seperti ini

“Kalo rasa bisa di pesan, aku tak ingin mengirimnya ke kamu Haris”

“Tetapi rasa ini sudah terlanjur mengalir kepadamu”, Bagas menatap Haris dengan yakin. Haris tetap tidak ingin kembali menjalin hubungan sebagai kekasih, karena Haris tetap ingin masuk surga.

Bagas yang masih sangat mencintai Haris. Selalu pergi mencarinya untuk dapat kembali bersama menghabiskan hari-harinya. Haris dulu juga seperti itu, walaupun sesekali dia tersandung untuk percaya bahwa hubungan mereka tidak seharusnya. Haris sudah mencoba sejak dulu saat semua manusia tak memegang kontak pintar dalam keseharian. Saat semua orang belum menjadi manusia milenia.

Haris mencoba menggali arah hidup setelah dirundung tragedi berbahaya. Haris terjatuh pada dunia gelap saat sedang berjalan pada malam dingin. Dia bertemu malaikat yang sedang mencari temannya untuk mengangkat arwahnya. Dia melihat perlakuan yang tak dapat dijelaskan dalam kata. Sesampainya ia di pagi hari, matanya terbuka di pelataran sebuah tempat ibadah pada hari Minggu. Sejak saat itu Haris selalu melindungi dirinya dari pencarian tak berujung.

Haris menyadari bahwa memang semua salahnya. Dia juga tahu bahwa negara ini tak menerima kaum sepertinya. Agamanya juga mengharamkannya. Keluarganya pun tak ada yang tahu. Memang salah. Tapi Haris sudah mencoba selama belasan tahun untuk mencintai seorang perempuan. Kadang dia berpikir untuk mengubah tubuhnya, mengubah dadanya, mengubah kelaminnya, mengubah wajah dan segalanya. Pikirannya selalu berputar setiap kali tersandung pada satu waktu. Apabila Haris perempuan dia tak akan seperti ini kepada Bagas. Haris sudah berusaha mencintai, perempuan dengan mudah ada di pelukan. Tetapi hatinya tak bergetar, jantungnya tak berdegup kencang, mukanya pun tak memerah.

Haris tetap ingin hidup dengan Bagas selama dalam pikiran.