Namaku, Riri.
Malam ini aku baru saja pulang dari kedai
kopi sore di daerah sekitar kampusku. Aku pulang tepat jam 9 malam, melewati
marka jalan yang masih begitu terang oleh kendaraan. Aku terus melangkah
melewati tembok kata berwarna yang melukai pikiran.
“Yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Yang hancur
lebur, akan terobati”, tulisan itu adalah kalimat yang berada di ujung jalan.
Tandanya aku sudah sampai di bilik lintas waktuku, dengan
satu kalimat pamungkas yang mengantarkanku ke gerbong bawah sadar. Aku tinggal
di sekitar daerah tempatku kuliah bersama teman satu jurusanku, Ratih namanya.
Dia adalah mahasisiwi asal Bekasi, jurusan Sastra Indonesia. Kita berdua
berteman sejak awal aku menginjakkan kaki di bilik kosan Teratai ini. Bedanya,
aku berasal dari kota Jogja yang tak fasih berbahasa Jawa. Kita berdua sudah
tinggal hampir 4 tahun disini, karena masih menjalani drama bersama dosen
pembimbing di salah satu kampus yang berada di kabupaten dalam peta Jawa Barat.
Kampus yang menjadi pusaran kisah berbagai umat di dalamnya. Sekitar 15 menit
dari kedai kopi sore, aku sampai di kosan Teratai. Langkah kakiku terhentak
sesekali, meresapi kalimat yang berceceran di dinding.
Saat aku sampai ke kamar, Ratih langsung tidur dengan
pulas. Aku ingin ikut berbaring sepertinya, namun kakiku melangkah ke arah
balkon depan untuk sekedar menenangkan rasa. Aku teringat Laras, sahabatku.
Setelah bertemu dengan sahabatku di kedai kopi sore, seketika semuanya menjadi
sendu, di balkon aku merasuki jiwaku dalam heningnya semesta dengan kebutaan
ideologi. Aku kembali ingat, saat dahulu. Aku pernah merasa kalah di masa lalu.
Masa lalu yang kelam dalam denyut nadi seseorang. Saat itu, rasanya aku seperti
ingin mundur dari semesta, semesta yang bernyawa. Semesta yang menghimpun
jalanku. Tapi aku ingat menjadi pendosa bila mundur sebelum waktunya. Apa
jadinya semesta tanpa diriku. Tak akan ada lagi yang merangkak, bersorak,
menangis dan tertawa disini.
Masa-masa itu, masa yang sudah berlalu, masa yang telah
membuat lukaku sedalam lubang buaya. Mengapa Laras malah mebawanya kembali,
malam ini. Aku menggali jiwa yang sudah kukubur 2 tahun yang lalu. Laras adalah
sahabat lamaku, yang menghilang tanpa kabar. Lebih tepatnya dia adalah
mahasiswi Keperawatan yang punya 1001 kesibukan. Jarang sekali kami bisa
berbincang. Kemarin lusa dia menghubungiku.
“Ri, besok ngopi yu? Aku pengen ngobrol sesuatu.” Pesan
muncul di layar handphone-ku.
Akhirnya kita bertemu. Setelah begitu lama bercerita, dia
menyinggung seseorang yang sudah kukubur jiwanya. Memoles lukaku yang sudah
hanyut dalam waktu.
Dia bertanya, “Bagaimana perasaanku saat dulu, saat Rio
pergi tanpa alasan?”
“Aku kesini mau minta maaf, Ri” ujarnya dengan tatapan
mata berbinar.
Saat itu, Laras pun katanya sangat sibuk tak pernah mendengar
ceritaku secara langsung. Saat-saat aku merasakan luar biasa sakit hatinya,
seperti guncangan topan di samudera. Sebenarnya, tak karuan, tak tertahankan,
bahkan sebenarnya tak ingin kubayangkan, Ras. Jawabku dalam pikiran.
“Dulu memang mungkin aku terlalu perasa”, jawabku dengan
santai sambil menatapnya dan mengingat kembali kisah berdebu.
Perempuan memang terlalu perasa. Saat lelaki mementingkan
logika, mengapa perempuan tak menggunakannya? Aku selalu heran dan bertanya
kepada diri, mengapa rasa yang menang dalam pertarungan pada kisah-kisah cinta
tak penting seperti hari kemarin? Perasaan perempuanlah yang beradu dan yang
menguasai kisahnya sendiri. Yang sibuk memikirkan hatinya dan hati lelakinya.
Logika perempuan pergi kemana? Mengapa rasaku terlalu egois dan selalu
mendominasi. Jujur itu membuatku sangat gila. Saat di mana aku mengetahui bahwa
aku bukan lagi satu-satunya dalam kehidupannya. Aku bukan lagi menjadi
penyemangatnya. Aku bukan lagi seseorang yang di nantinya. Aku bukan lagi
perempuan istimewanya.Aku bukan lagi teman dekatnya.Aku bukan lagi sahabat
spesialnya. Aku bukan lagi seseorang yang menjadi tempat untuk melepas tawa,
melepas lelah dan melepas sedihnya. Sampai pada akhirnya aku tidak berarti
apa-apa untuknya. Rasanya perlahan menghilang seperti ditelan bumi, sedangkan
perasaanku semakin menggebu seperti ombak yang pasang di lautan. Apakah benar
perempuan mencintai kekasihnya dari 0-100 hingga tak terhingga mengudara.
Ah, Rasaku! Sialan sekali! membuatku tak sanggup
membantingkan logika. Logikaku lari dikejar cheetah, cepat dan tak terkendali.
Hingga tak bisa kugenggam dalam akal pikirku. Sedangkan perasaanku menjadi raja
dalam hati yang goyah di pelarian, merasa rapuh tapi yakin tuk menang dalam
pertarungan rasa.
Aku tetap bertahan dan seolah menghilangkan kenyataan
tentang dirimu yang perlahan berubah. Aku berpura-pura tak mengetahui semuanya.
Hanya karena alasan, menyimpan rasa dan menjaga selagi aku bisa berjuang untuk
‘kita’. Karena aku tak sanggup untuk mengubah hari tanpamu. Menghilangkan kamu
dalam setiap perjuanganku. Menghapusmu dalam setiap catatan hatiku.
Membiarkanmu tenggelam dalam memoriku. Aku tak sanggup mengawali perubahan yang
semuanya tanpa ada sosokmu yg selalu ada selama ini. Lagi-lagi logikaku tak
bisa kubanting, karena rasaku kepadamu.
Harusnya aku sadar untuk melanjutkan hariku. Melangkah
tanpa bayanganmu. Merajut rasa dengan sekitarku untuk berbagi canda dan tawa
seperti hari sebelumnya. Aku terlalu egois memikirkanmu yang sebelumnya tak pernah
menjadi apa-apa dalam hidupku. Yang sebelumnya tak ada sosokmu dalam setiap
dentum waktuku. Dan hariku saat itu biasa saja dengan perasaan bahagia.
Inilah candu yang sangat membuatku frustasi, candu yang
seharusnya tak kubiarkan merajalela dalam sistem hidupku. Saat aku bukan
apa-apa lagi untukmu. Bagiku bukan hanya rasa yang menjadi hancur, tapi jiwa
dan hatiku berserakan bersama dengan kepergianmu. Karena akhirnya kamu yang
membuat keputusan untuk meninggalkanku. Alasan karena aku terlalu baik untukmu.
Alasan yang membuatku ingin mencabik
mukamu sepeti potongan daging di pasar minggu. Karena aku tau bukan itu
alasannya, alasannya kau memiliki seseorang yang baru, dan lagi-lagi aku masih
berpura-pura tak mengetahui semuanya. Rasaku dibanting oleh logika dangkal
seorang lelaki yang tidak bisa bersama dengan alasan aku terlalu baik untukmu!
Sementara rasamu bersama dia yang menjadi lembaran baru
untukmu. Saat semua hancur meleburkan harapan-harapanku, aku baru menyadari
mengapa keputusan mengakhiri tak sedari dulu dilakukan. Semenjak saat kau
berubah, harusnya membuatku sadar ada seseorang yang baru dalam hidupmu.
Seharusnya aku tak harus memikirkan rasa, karena akhirnya telah merusak jiwaku.
Sesuatu yang menjadi segalanya bagimu. Betapa tak berarti lagi penantian dalam
setiap pagi, setiap siang, setiap senja, dan setiap malam, hanya untuk berbalas
kata dalam kotak pintar masa kini. Aku yang selalu berharap kamu adalah
seseorang yang tepat hingga tua nanti. Akhirnya aku harus menjadi daftar yang
kau khianati. Seolah dengan mudahnya kau melupakan janji yang selalu kita jaga.
Aku hanya bisa kecewa dalam diam, karena berontak hanya untuk revolusi.
Ratih bertanya lagi, “Ri, kamu baik-baik aja kan?”
Aku terlalu banyak bercerita dalam pikiran, sampai
menjadi beku di hadapan Ratih. Intinya aku dulu terlalu perasa, Ras. Sampai
mati rasa.
“Ri, ini aku Ratih bukan Laras. Dia mana berani datang
kesini”, ujar Ratih yang bersamaku sepanjang malam di kedai kopi sore.
“Ayok kita pulang aja, udah malem nih” ujar Ratih sambil
pergi ke kasir.
Lagi-lagi aku berharap kepada seseorang yang hanyut
bersama untuk kembali berbincang. Yang hanyut tak mau mendayuh. Minta maaf
Laras yang hanya menjadi dongeng. Tapi tidak dengan sakit hatiku dulu yang
lukanya pernah rigid.
Selamat untuk kekasih barumu, Laras.