Ingatan Bulan Lima


Rabu malam ini, Tio berangkat ke tanah penguasa. Tio bergegas memakai kaos hitam, merangkul ransel, mengikat sepatu dan segera berangkat tepat jam 7 malam. Tio sampai tengah malam di tengah kumpulan pencakar langit, karena tersendat di jalanan. Saat berjalan beberapa langkah dan mengangkat kepalanya disambut dengan gilang gemilang cahaya bias, namun tiba-tiba menunduk kembali karena perutnya melonceng tak karuan.
Malam ini Tio sudah memutuskan untuk ikut berbaring di rumah Isal yang merupakan sahabatnya. Isal sekarang tinggal di sekitaran Palmerah. Tio memutuskan untuk menumpaki kuda online setelah sampai di travel yang berada di sudut Cikini. Secepat kilat Tio pun sampai dengan kecepatan cahaya. Setibanya di depan rumah Isal, Tio tak segan langsung berbaring di kamar karena suara lonceng perutnya sudah tak berlaku.
***
Pagi pun tiba dengan selamat. Ditandai dengan berbagai klakson yang puluhan kali berbunyi. Di tanah penguasa bukan ayam berkokok yang membangunkan manusia, tetapi mesin yang berisik. Dunia milenia sedikit demi sedikit nampak di hadapan Tio.
Tio dan Isal sudah bangun sejak tadi, mereka sedang menikmati si hitam giling asli Sidikalang yang dibawa Tio dari rumah.
“Hari ini jadi lu pergi kesana?” tanya Isal sambil meniup kopinya yg masih panas.
“Jadilah, gue pengen ke depan Istana Merdeka, ikutan Aksi Kamisan ke-487, penasaran gue, jawab Tio dengan santai.
Tio merupakan manusia yang disebut maha dari siswa. Tio baru saja menjajal semester pertama dan baru tersadar dari kebutaannya mengenai kebusukan penguasa. Hari ini adalah hari pertama Tio pergi untuk ikut aksi kamisan. Tio sangat penasaran dengan aksi ini yang telah ratusan kali tanpa ada ujungnya.
Beribu tahun yang lalu Tio adalah manusia yang apatis. Dia hanya peduli tentang kebahagiaan hidupnya, tak pernah peduli dengan berita sehari-hari. Toh, tidak mengganggu kehidupannya selama ini.
Namun, setelah lulus sekolah dan mulai aktif di kampus. Jiwa mudanya menyalakan api dalam tubuhnya hingga ke sistem otak kanan dan kirinya, hidupnya banyak dihantui tanya yang membuatnya mulai berpikir dan melihat.
“Mau sampai kapan coba, begini melulu? Pokoknya ntar kita berangkat jam 3an aja,” ujar Tio kepada Isal yang sedang menatapnya heran.
Pukul 4 Tio dan Isal sampai di depan Istana Merdeka, sudah hampir mulai. Saat bertemu dan menyapa Ibu Suciwati, Tio dan Isal langsung mengambil payung hitam di sebelah kiri. Payung yang sedari dulu menemani aksi ini tanpa henti dan pengkhianatan.
Aksi Kamisan ke 487 dimulai, Tio tiba-tiba bersuara tentang HAM selama ini di bumi pertiwi. Satu persatu yang hadir semua menyampaikan harapannya kepada penguasa, menggunakan pakaian serba hitam dan disertai payung hitam yang menjadi khas aksi. Payung hitam melindungi manusia dari teriknya cuaca depan istana. Ada banyak tragedi kemanusiaan di bulan lima, Tio ingin mendorong penguasa untuk selesaikan ini agar segera naik kelas. Tragedi Kerusuhan Mei 1998, Marsinah yang ditemukan tewas 8 Mei 1993, Tragedi Simpang KAA 1999, Peristiwa Jombo Keupak 17 Mei 2003, sampai Penetapan Darurat Militer Aceh 19 Mei 2003. Begitu penuh merahnya bulan lima dari sejarah bangsa.
Aksi pun selesai, Tio menyimpan payung hitamnya di tempat semula. Seketika payung hitam itu berkata bahwa akan tiba saatnya, ketika sang angin tak rela menapak bumi. Aku tak akan lagi merasakan hembusan yang selalu hadir menemaniku. Angin pun bisa berlari tanpa kau tahu arah tujuannya. Angin memiliki kecepatan cahaya yang serapat. Angin pun bisa menjatuhkan mereka saat seluruh bangsanya bersatu. Walau angin tak hadir untukku seorang, aku percaya angin adalah kekuatan jiwa untuk sesama. Angin pun bisa menjadi penghancur dunia. Ingatanku selalu berujar kepadaku tentang semesta dan kematian. Tio terus mendengarkan, awalnya Tio tak menyadari siapa yang bersuara, sampai dia mendengarnya dengan saksama sumber suara. Tiba-tiba dia menutup mulutnya yang tak bisa berkata dan matanya hampir keluar dari pintu kelopak. Tio tersentuh karena ini pertama kalinya payung berbicara kepadanya.
Dia terus bercerita kepada Tio tanpa henti, katanya banyak penguasa yang beralasan lupa. Tak ingin melihatku sebagai sebuah simbol, dan membaca tinta putih yang ada di atasku ini. Saat panca indera memberikan reaksi terhadap ingatan, tak ada darah di aspal seperti reformasi. Hanya pikiran yang ternodai.
Tio pun menjawab tanpa banyak berpikir lagi, dia pun heran dan tak mengerti mengapa semuanya menjadi tak terselesaikan oleh ingatan. Padahal ingatanlah yang menentukan kebenaran dalam sebuah keadilan. Walaupun kebenaran sudah dipegang oleh penguasa yang berujar dengan berbagai kebijakan. Bombardir ingatan masa lalu menjadi ingatan yang bersenjata seluruh penjuru negeri. Ingatan yang mencari sebuah penguasa yang berani mati dalam kepungan sejarah. Seperti bom waktu, yang menunggu kereta keadilan menghampirinya.
Payung hitam pun kembali berkata, sampai saat ini, aku melihat semuanya masih sebatas ingatan yang dikenang dalam doa. Masih sebatas ingatan tembakan aparat, bau bom, dan sepatu PDL. Aku hanya bisa mendengar dan melihat semua sakit hatinya manusia setiap Kamis tiba.
Payung hitam mengajak Tio putar balik ke masa itu, ingatan di bulan lima seperti hanya angin kecil yang melewati halaman rumahmu setiap malam. Rasanya mungkin hanya merinding tanpa ada tanda bahaya nyata. Rasanya biasa tanpa perlu ada yang dikhawatirkan. Bahaya seharusnya di negeri kalian, ingatan menjadi seperti ini. Ingatan hanya menjadi angin kecil pada setiap bulan kelima. Perjuangan setiap hari keempat setiap minggunya yang hanya menjadi selingan mata penguasa. Aku sudah lebih empat ratus kali digunakan tanpa ada kepastian, bukannya aku lelah tapi aku merasa kasihan terhadap bangsa ini dan isinya.
“Satu pesanku: jangan lupa datang kembali, melanjutkan perjuangan, ujar payung hitam yang akhirnya tersimpan dalam kantong hitam dengan payung lainnya. Payung hitam itu tiba-tiba berhenti berbicara ketika seseorang datang untuk menyimpan payung hitam yang digunakannya juga. Tio pun terpana mendengar semua curhatan payung hitam yang tak diduga dalam aksi kamisan ini.
Seketika Tio sadar perlu putar balik lebih sering ke masa itu. Ingatan yang membawa Tio melihat kebelakang, masa reformasi, penentu kebebasan dari rezim otoriter yang penuh dengan tembakan. Darah mengalir di aspal, sampai saat ini tidak ada yang bertanggung jawab. Semua penguasa sembunyi tangan, seperti lupa-lupa dalam mengingat kejahatan kemanusiaan masa lalu. Penguasa tutup telinga mendengar teriakan keadilan di depan istana. Padahal semuanya terekam dari telinga kanan dan kiri, namun keluar dari lubang anusnya. Dianggap hanya kotoran belaka, yang tak pantas untuk ditangani.
Sampai kapan semua hanya menjadi angin kecil di bulan lima dan setiap hari keempat di tiap minggu. Lagi-lagi bom ingatan ini menunggu kereta keadilan datang menghampiri.
“Mau sampai kapan coba, begini melulu?” kalimat itupun terpikir kembali.
Tio pun langsung menghampiri Isal yang sedang berbincang dengan Ibu Suciwati. Akhirnya mereka ngobrol bersama, sampai Ibu Suciwati dihampiri kereta kencana yang menandakan waktunya telah habis.
Tio berkata, “Enggak rugi kan sal.” Sambil duduk di pinggiran Tugu Monumen Nasional.
“Enggak lah, gue seneng malah. Kalo bisa ntar ke sini lagi, lah, kita,” jawab isal sambil tersenyum.
Rasa penasaran Tio sebenarnya masih belum terjawab, namun Tio menyadari bahwa ingatan seharusnya tak hanya untuk dikenang. Ingatan bulan lima yang hanya misteri. Ingatan yang seyogyanya menjadi beban penguasa. Ingatan yang seharusnya membuka cakrawala untuk masa depan. Menjadi ingatan yang akan selalu menuntut keadilan. Ingatan di bulan lima selalu menjadi cambukan sejarah bangsa. Yang sampai saat ini tak mampu untuk dibersihkan dari kotoran-kotoran negara. Teriakan keadilan digaungkan oleh sesama dengan rasa kemanusiaan, melihat keadilan tak kunjung dikedepankan. Sudah terlalu banyak air mata di masa lalu. Air mata yang menjadi kekuatan untuk terus berjuang melawan penguasa. Otoriterisme penguasa makin tak karuan, sepertinya masa lalu hadir kembali dengan muka berbeda.
Tio berpikir untuk ikut pergi dengan payung hitam yang bisa kembali ke masa-masa kediktaktoran, untuk menjadi saksi. Bulan lima menjadi bulan merah dalam kalender Tio. Bulan penuh darah, bulan penuh tanda tanya, perjuangan dan penindasan. Tio berharap penguasa memberikan waktunya sejenak untuk menengok sesekali kepada kasus kemanusiaan di masa lalu. Jangan biarkan bulan lima, hanya menjadi simbolis dan kenangan pahit dalam peringatan kematian. Seperti yang dikatakan payung hitam yang diingat Tio, apabila semuanya hancur, semua tak akan terbendung oleh tingginya pegunungan di dunia, luasnya pun melebihi samudera ini. Bangsamu memiliki kekuatan untuk menghancurkan negerinya sendiri. Saat semua itu terjadi, berdoalah bersama semesta semoga dirimu terselamatkan dari meja hijau.