Isu SARA, Siap-Siap Media Sosial Akan Gaduh!

Perang dan konflik yang berkepanjangan adalah salah satu efek dari keegoisan manusia. Terpaku pada kepentingan masing-masing hingga lupa bahwa kita sama-sama manusia - K.H. Abdurrahman Wahid

Pertarungan politik antara Jokowi dan Prabowo pada tahun 2014 lalu, akhirnya akan terulang kembali pada Pilpres tahun 2019 nanti. Hal ini dibuktikan saat keduanya resmi mendaftarkan diri sebagai bakal calon presiden. 


Tahun ini Joko Widodo dan Prabowo Subianto memberikan kejutan dalam menentukan sebuah keputusan politiknya. Seperti yang kita ketahui, akhirnya Jokowi resmi memilih Ma’Ruf Amin dan Prabowo resmi memilih Sandiaga Uno. Hal tersebut membuat pemberitaan di media ramai dan banyak pro-kontra atas keputusan tersebut.

Sebelum diputuskannya calon wakil presiden masing-masing, pada umumnya sosok yang digadang-gadang di media adalah sosok yang berbeda dengan hasil keputusan akhir. Nama yang muncul di pemberitaan media adalah Mahfud Md dan AHY, namun akhirnya nama-nama tersbut hanya muncul di permukaan saja.

“Pada Akhirnya Yang Digadang-Gadang, Akan Kalah Dengan Kepentingan Partai Politik”.

Kepentingan partai politik akhirnya menjadi penentu keputusan politik akhir dari Jokowi dan Prabowo. Saat digelarnya rapat koalisi dengan berbagai lobi politik yang diajukan untuk mendampingi Jokowi, akhirnya berhenti di nama Ma'ruf Amin. Setelah pasangan pertahanan sudah mendaftar secara resmi, Prabowo yang awalnya dikabarkan akan berpasangan dengan AHY, akhirnya keputusan akhirnya bersama dengan Sandiaga Uno. Keputusan sudah dibuat dari masing-masing kubu dengan dinamika politiknya, untuk menyambut pesta demokrasi 2019. 

Sebelum menyambut pesta demokrasi yang akan berlangsung tahu depan, kita perlu belajar dari Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang sangat kental akan isu SARA. Isu SARA bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Kalo kita melihat sejarah bangsa ini, struktur masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, dan adat istiadat yang mencerminkan sebagai negara majemuk. Seperti yang diungkapkan oleh J.S Furnivall tentang masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda  adalah  masyarakat majemuk (plural society) yang  tanpa ada asimilasi pada kesatuan politik dan adanya kehendak bersama (common will). Pembaruan pada masyarakat Indonesia yang pluralis, dimungkinkan terjadinya perkawinan silang antar etnis karena faktor geografis dan pengembaraan ke suatu daerah tertentu di Indonesia, yang menghasilkan generasi campuran/antaretnis. Hal ini seharusnya membuat kita belajar bahwa isu SARA seharusnya tidak menjadi senjata nomor satu dalam pertarungan politik.


Isu SARA memang sudah ada sejak masa Orde Lama. Pada tahun 1959, Pemerintah mengeluarkan PP No.10/1959, yang isinya melarang orang-orang Tionghoa berdagang di tingkat kabupaten kebawah. Akibatnya ratusan ribu orang Tionghoa terpaksa melakukan repartriasi ke RRC, dan para komandan militer (Angkatan Darat) khususnya di Jawa Barat melarang orang Tionghoa bertempat tinggal di pedesaan. Konsep pemerintah mengenai nasionalisasi perusahaan sungguh meminggirkan golongan etnis Tionghoa, serta mengakibatkan lebih dari 100.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia selama tahun 1960-1961 dan mayoritas mengalami kesengsaraan. Hal ini pun dikaitkan dengan “intrik-intrik” politik negara Indonesia dan Tiongkok dan ada peningkatan teror dalam perbatasan-perbatasan Indonesia sendiri, seperti pada tahun 1963 terjadi kerusuhan rasial pecah di Jawa.

Isu SARA juga masih terjadi di masa pemerintahan Orde Baru yang mebuat etnis Tionghoa mengalami diskriminasi rasial dan kehilangan Hak Asasi Manusia. Mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda Penduduk. Etnis Tionghoa tidak boleh menjadi PNS/TNI. Pelarangan etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di pedesaan. Pada puncak Reformasi, pecah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan Solo terdapat banyak korban tewas dan terjadi pemerkosaan terhadap perempuan keturunan Tionghoa, yang mengakibatkan sekitar 5.000 warga keturunan Tionghoa Indonesia melarikan diri ke luar negeri. 

Selanjutnya pada masa pasca reformasi, isu SARA masih menjadi senjata politik yang kuat untuk mendapatkan kekuasaan. Ditambah dengan keberadaan media sosial yang membuat suatu informasi begitu cepat beredar di masyarakat. Terlihat dengan menguatnya isu SARA pada pemilu 2014 dan 2017 yang merupakan perjalanan sejarah dan pelajaran bagi demokrasi bangsa ini. Isu SARA merupakan isu yang paling mudah menimbulkan konflik horisontal. Seperti yang dikutip tempo bahwa hasil penelitian LIPI pada April-Juli 2018 mengenai “Pemetaan kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan menjelang pemilu serentak 2019: dalam rangka penguatan demokrasi". Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa tindakan persekusi di kalangan masyarakat disebabkan karena penyebaran berita hoaks (92,4 persen), ujaran kebencian (90,4 persen), radikalisme (84,2 persen), kesenjangan sosial (75,2 persen), perasaan terancam oleh orang atau kelompok lain (71,1 persen), sedangkan aspek "relijiusitas" (67,6 persen) dan ketidakpercayaan antarkelompok/suku/agama/ras (67,6 persen).

Saat ini memang isu SARA seperti menjadi sebuah komoditas baru dalam lingkaran pemilihan umum untuk mencapai kekuasaan. Bahkan sebelum pemilu berlangsung, konflik horisontal sudah terjadi di kalangan elit bangsa ini. Koalisi Jokowi yang merasa belajar dari pengalaman untuk tidak lagi menjadi target isu SARA oleh oposisi. Hal ini ditunjukkan dengan terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi. Koalisi yang mendukung Jokowi ingin menepis isu SARA dengan menggandeng sosok yang religius. Dengan dideklarasikannya Jokowi dan Ma'ruf Amin akan menyulitkan pasangan calon ini tertimpa isu SARA karena merupakan pasangan nasionalis-religius. 

Hal ini menunjukkan bahwa di kalangan elit politik terjadi konflik horisontal. Narasi-narasi politik SARA sudah beradu senjata sejak ratusan hari yang lalu di media sosial. Buzzer politik sudah siap siaga untuk menghadapi pesta demokrasi. Hal ini akan terus berlangsung dan menjadi pupuk yang subur untuk netizen apabila ada kepercayaan yang tinggi tanpa mengetahui kebenaran. Apabila semua itu terus tumbuh subur, kita tidak akan pernah melihat pertarungan gagasan/program kerja. Hal itu menjadi 'tidak penting' karena isu SARA menjadi nomor satu dalam pembicaraan politik bangsa ini. Oleh karena itu, netizen perlu menghadapi para buzzer politik dengan lebih cerdas. Tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang memiliki banyak tendensi SARA ataupun pemberitaan tidak jelas asal-usulnya. Pilpres 2019 yang akan datang, banyak yang berharap semoga isu SARA bukan menjadi tolak ukur bagi pemilih untuk menentukan pilihannya, karena pada umumnya memang bangsa kita kaya akan perbedaan.
Siap-siap media sosialmu akan gaduh kembali dibangdingkan hari-hari biasanya!

Catatan Kaki:

[1] M.D La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik, Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta: 2012, hal. 2.